Kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi Banyak Diabaikan, Pengamat: Titah Sang Raja Tak Digubris

Kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi Banyak Diabaikan, Pengamat: Titah Sang Raja Tak Digubris

Wakil Bupati Bogor, Jaro Ade, menegaskan komitmennya bersama Bupati Bogor, Rudy Susmanto, dalam meningkatkan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik di wilayah barat Kabupaten Bogor, khususnya Kecamatan Parung Panjang. Pada acara Abdi Nagri Nganjan-Bogor Aktual -Pemkab Bogor

BogorAktual.id – Pengamat politik dan kebijakan publik dari Lembaga Studi Visi Nusantara (LS-Vinus), Yus Fitriadi, menyoroti lemahnya daya ikat kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang kerap diabaikan oleh pemerintah kabupaten dan kota di wilayahnya.

 

Salah satu contoh terbaru adalah kebijakan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB, yang tidak direspons serius oleh sebagian besar kepala daerah. Padahal sebelumnya, jam masuk sekolah umum diterapkan pukul 07.00 WIB.

 

“Bukan hanya soal jam sekolah. Sejak awal, banyak kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi yang tak dijalankan maksimal di daerah, seperti kebijakan barak militer, larangan rapat dinas di hotel, pemberlakuan jam malam bagi pelajar, dan lainnya,” kata Yus dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/7/2025).

 

Menurutnya, situasi ini tidak bisa dianggap biasa. Seorang gubernur seharusnya memiliki kekuatan koordinatif atas kepala daerah di bawahnya.

 

Namun faktanya, banyak kebijakan Dedi Mulyadi seolah tidak dipandang sebagai keputusan struktural yang wajib diimplementasikan.

 

Yus menilai bahwa kebijakan-kebijakan tersebut terlalu bersifat personal. Banyak di antaranya tidak diinternalisasi secara resmi dalam struktur Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

 

Bahkan di tingkat internal pemprov pun, kebijakan itu kemungkinan tidak sepenuhnya dipahami secara utuh.

 

Selain itu, banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa kajian dan analisis yang mendalam. Idealnya, sebelum menjadi keputusan, setiap kebijakan diuji dan dikaji secara menyeluruh.

 

Ketika kebijakan muncul tanpa proses tersebut, maka wajar bila pelaksanaannya tidak optimal.

 

Gaya populis Dedi Mulyadi juga disebut menjadi faktor lain. Sejak lama ia dikenal aktif di media sosial dengan pendekatan personal. Saat menjabat sebagai gubernur, gaya tersebut tetap dipertahankan.

 

Isu-isu dilempar ke publik dan langsung dijadikan kebijakan formal, meski tak melalui mekanisme birokratis yang lazim.

 

Kelemahan lain terletak pada kurangnya instrumen implementasi di tingkat daerah.

 

Ketika tidak ada petunjuk pelaksanaan yang jelas, maka masing-masing daerah terpaksa menafsirkan kebijakan itu sendiri. Hal ini membuat kebijakan menjadi setengah hati dan tidak berdampak signifikan jika tidak dilaksanakan.

 

Di sisi lain, banyak kalangan juga menganggap kebijakan yang dikeluarkan terlalu teknis dan seharusnya menjadi kewenangan dinas terkait, bukan langsung diputuskan oleh kepala daerah tingkat provinsi.

 

Misalnya dalam hal barak militer atau perubahan jam sekolah, seharusnya Dinas Pendidikan yang merancang dan mengumumkan kebijakan setelah mendapat persetujuan bersama.

 

Yus memperingatkan, jika pola ini terus berlanjut, maka Gubernur Jawa Barat bisa kehilangan wibawa dan efektivitas koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota. Hal ini berpotensi memicu kegagalan konsolidasi di level pemerintahan daerah.

 

“Bisa saja di benak Dedi Mulyadi, kalau kebijakan diikuti ya bagus, tidak pun tak apa-apa. Tapi cara pandang seperti ini tidak sesuai dengan struktur pemerintahan yang hierarkis dan koordinatif,” tegas Yus Fitriadi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News